Sabtu, 14 November 2009

Perkataan Dalam Fana Dan Perkataan Dalam Fatwa

Berkata Sayyid Al imam Idrus Bin Umar Al habsyi mengisahkan dari gurunya, yaitu Habib Abdullah Bin Husain Bin Tahir semoga Alloh meridhoi keduanya: "sesungguhnya perkataan seorang awliya ketika dalam keadaan fana diluar alam sadar, maka akal sehat akan mengingkari kebenarannya, kecuali guru atau mursyidnya, hendaklah kita tidak bersegera untuk menyalahkan dan menghinakannya, tapi teliti dulu pribadi orang yang berbicara, apakah nyata maqom (derajat: pent) kewalian dan kebenarannya? Apabila telah nyata kewaliannya, maka teliti lagi apakah tepat penggolongan dan penyandaran wilayah (kewalian) itu padanya ? Dan setelah benar penyandaran derajat itu padanya sekalipun mencocoki syari'ah tetap harus kita bertanya kepada ulama yang dapat melihat ilmu dzohir dan batin serta ta'wilnya yang dapat diterima oleh akal dan syari'at. (Al nahr al maurud)
Banyak hal yang tidak dapat diterima oleh seseorang ketika mendapati perkataan dari ahlullah (orang yang dekat dengan Allah) ketika dalam puncak mahabbah (cinta) dan mukasyafah (terbukanya hijab) kepada Allah SWT, sehingga tak jarang keterbatasan akal menyeret kita pada devinisi dan klaim yang keji pada sosok hamba yang suci.
Dalam bahar thawil, Habib Abdullah Bin Alwi Al haddad bersya'ir:
وسلم لاهل الله في كل مشكل * لديك لديهم واضح بالادلة
"Dan terimalah apa apa yang kau dapati dari awliyaillah meskipun sesuatu yang tidak masuk akal bagimu, tapi bagi mereka cukuplah jelas dengan dali dalil yang ada"
Abu Al hasan As syadzili (shohibu toriqoh syadziliyah) berkata: "sejak 40 tahun saya tidak terhijabi (tertutup) dari Allah" maksudnya tidaklah terdapat lagi penghalang antara beliau dengan Allah, ini menunjukan terangkatnya hijab antara seorang hamba dan Tuhannya.
Abu Al abbas Al mursi (murid pewaris keilmuannya Abu Al hasan As syadzili, beliau adalah wali besar pada zamannya): "Jika tertutup sesaat saja antara saya dan syorga adn maka tidaklah aku golongkan diriku sebagai seorang muslim"
Inilah hamba hamba Allah yang telah sampai pada puncak nikmatnya penghambaan, sehingga ibadah bukan lagi suatu beban dan kewajiban tapi telah menjadi kebutuhan dan kenikmatan, ucapan ucapan yang lahir darinya tidak lagi atas lisannya, bisa jadi bersumber dari kalamullah atau kalaam rosuulillah atau kalaam qotburrobani seperti yang telah di jelaskan oleh Al imam As sya'roni rahimahullah: " boleh jadi perkataan seorang yang arif billah dalam nadzomnya (sya'ir) atau yang lainya, itu atas perkataan Al haqqu tabaaroka wa ta'ala, dan boleh jadi atas perkataan rosulillah, juga boleh jadi atas perkataan wali qutub, dan sebagian orang menyangka bahwa itu adalah murni perkataannya, sehingga langsung mengingkarinya..."
Lalu bagaimana jika perkataan seorang mufti yang shorih (jelas: pent) dengan membawa konsekwen hukum halal dan haram? Marilah kita tela'ah dengan seksama beberapa faktor penunjang kehalalan suatu perkara dan keharamannya, Imam Syafi'i berkata: "asal hukum sesuatu adalah mubah, hingga ada nash dan dalil dalil yang mengharamkannya" ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah, beliau berkata: "asal hukum sesuatu adalah haram sehingga datang dalil dalil yang membolehkannya" fatwa fatwa ini berkaitan dengan kebenaran yang sifatnya hipotetik, dzon dan furu'iyyah, sehingga sah sah saja adanya perbedaan didalamnya dan boleh bagi kita untuk mengikuti kebenaran fatwa yang satu tanpa mnginkari atau menyalahkan kebenaran yang lainnya. Berbeda dengan perkara aqidah, ini merupakan ideologi yang tunggal sifat kebenaran di dalamnya, tidak ada kebenaran yang majemuk dengan berbagai perbedaan satu sama lain, pilihannya hanya satu, menerima atau mengingkari, mengimani atau mendustai, berserah diri (taslim) atau menolak (kafir) sehingga konsekwensi dalam aqidah bila seseorang telah islam dan iman maka kita saksikan kebenaran itu dengan meniadakan lebel atau cap kafir terhadapnya, begitu juga sebaliknya, bila ia kafir, maka tiada lebel islam dan iman baginya.
Kontroversial diseputar takfir (pengkafiran) yang keluar dari fatwa ulama atau mufti haruslah tegas untuk dapat diteliti dengan barometer alqur'an dan hadits serta fatwa para ahli keduanya (mufassirin dan muhadditsin: pent) sehingga hal itu tidak menjadi fitnah bagi ummat.
Berkenaan dengan ini, mari kita perjelas takfir yang diucapkan Syaikh Nasiruddin Al albani dalam mengklaim Imam Al bukhori sesat dan tidak beriman karena telah melakukan ta'wil terhadap ayat 88 surah Al qashas: "tiap tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah". Maksud illa wajhah adalah illa mulkahu (kecuali kerajaanNya)
Ketika al albani ditanya tentang penakwilan seperti dalam shahih al bukhori tersebut, al albani mengatakan: "penakwilan seperti ini tidak akan dikatakan oleh seorang MUSLIM yang BERIMAN". Dengan begitu beliau telah menafikan (meniadakan) status kemusliman dan keimanannya Imam Al bukhori, ini merupakan takfir secara halus pada muslim lainnya.
Al albani mengeluarkan Fatwa yang isinya bahwa berkunjung kepada sanak famili pada saat hari raya termasuk bid'ah yang harus dijauhi, di saat yang lain Al albani mengeluarkan fatwa agar warga muslimin palestina keluar dari negri mereka dan mengosongkan tanah palestina. Dalam hal ini al albani memfatwakan: "warga muslim palestina harus meninggalkan negrinya ke negara lain, semua yang masih bertahan di palestina adalah kafir" (fatawa Al albani yang di himpun oleh ukhasyah Abdul Mannan hal 18).
Pertanyaan bagi ummat benarkah dan cocok kah pentakfiran oleh tokoh wahabi ini kepada Imam Bukhori dan warga palestin?
Mari ki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar